Oleh: Indira Sari )*
Pemerintah terus meneguhkan komitmennya dalam membangun sistem peradilan pidana nasional yang adil, modern, dan transparan. Salah satu wujud konkret dari langkah ini adalah pembaruan terhadap Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang akan melengkapi berlakunya KUHP baru pada 2026 mendatang. Pembaruan ini bukan hanya penting sebagai upaya harmonisasi regulasi, tetapi juga menjadi instrumen strategis untuk memastikan proses hukum di Indonesia berjalan secara terbuka, manusiawi, dan berkeadilan.
RUU KUHAP mengusung pendekatan yang merefleksikan perkembangan paradigma hukum pidana modern, di mana proses hukum tidak lagi semata-mata menjadi alat pembalasan atau penghukuman. Pemerintah dalam hal ini memandang bahwa hukum acara pidana harus berperan sebagai jembatan antara penegakan hukum yang efektif dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, prinsip-prinsip keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif menjadi roh utama yang membentuk arah kebijakan dalam revisi undang-undang tersebut.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, menilai bahwa transformasi sistem peradilan pidana yang sedang dijalankan saat ini sudah berada pada jalur yang tepat. Ia memandang bahwa ketiga bentuk keadilan yang diusung pemerintah memberikan orientasi yang seimbang antara pelaku dan korban. Keadilan korektif ditujukan untuk menyadarkan pelaku agar bertanggung jawab atas perbuatannya, keadilan restoratif memberi ruang bagi korban untuk mendapatkan pemulihan, sementara keadilan rehabilitatif bertujuan menciptakan reintegrasi sosial yang sehat bagi kedua pihak.
Pemerintah menyadari bahwa pembaruan ini tak bisa dijalankan secara parsial. Maka dari itu, RUU KUHAP juga mengandung visi yang lebih besar. Visi demokratisasi, misalnya, menggarisbawahi bahwa proses hukum harus memberikan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi, tentu dengan koridor hukum yang jelas. Selain itu, terdapat pula visi dekolonisasi yang menjadi dasar untuk melepaskan sistem hukum nasional dari bayang-bayang warisan kolonial yang tak lagi sesuai dengan semangat kemerdekaan. Harmonisasi juga menjadi misi utama, yakni mengintegrasikan berbagai ketentuan pidana di luar KUHP agar tidak menimbulkan konflik norma.
Sejalan dengan semangat tersebut, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, selaku menegaskan pentingnya keberadaan KUHAP baru sebagai instrumen pendukung KUHP nasional. Baginya, KUHAP bukan hanya soal prosedur teknis, melainkan juga refleksi dari filosofi hukum pidana yang mengedepankan keadilan sosial dan perlindungan terhadap hak individu. Ia menggarisbawahi bahwa penguatan keadilan restoratif dalam RUU KUHAP merupakan bukti keseriusan pemerintah dalam memberikan pendekatan hukum yang lebih kontekstual terhadap dinamika masyarakat.
Pentingnya pengaturan keadilan restoratif dalam KUHAP juga disorot sebagai bentuk pembaruan yang menjangkau substansi. Mekanisme ini tidak lagi dipahami secara sempit sebagai sarana damai antara pelaku dan penegak hukum, melainkan sebagai proses yang menjamin keterlibatan korban dalam setiap tahap penyelesaian perkara. Dalam praktiknya, pendekatan ini bukan hanya menghentikan proses hukum, tetapi juga memastikan bahwa kepentingan dan kerugian korban benar-benar diperhitungkan dan dipulihkan.
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan bahwa reformasi hukum acara pidana tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan akan keadilan yang lebih menyeluruh. Menurutnya, revisi KUHAP adalah keharusan karena masyarakat dan tantangan hukum terus berubah. Ia menekankan bahwa keadilan restoratif harus ditempatkan pada kerangka perlindungan korban, bukan sebagai celah yang dapat disalahgunakan aparat untuk menghindari proses peradilan yang sebenarnya. Oleh karena itu, kejelasan aturan menjadi penting agar tidak terjadi distorsi pemahaman di lapangan.
Lebih jauh lagi, ia mengingatkan bahwa semangat keadilan dalam revisi KUHAP tidak boleh hanya bersifat prosedural, tetapi harus mampu menjadi perlindungan substantif bagi warga negara. Salah satu aspek penting dari hal ini adalah transparansi dalam setiap tahapan proses hukum, dari penyidikan, penuntutan, hingga persidangan. Dalam konteks tersebut, KUHAP baru harus memastikan bahwa informasi perkara dapat diakses dengan mudah oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan bahwa proses hukum tidak dilakukan secara tertutup atau diskriminatif.
RUU KUHAP juga membawa inovasi dalam bentuk modernisasi sistem pemidanaan. Meskipun pidana penjara tetap menjadi pidana pokok, namun pemerintah mendorong agar sanksi ini hanya dijatuhkan dalam perkara yang benar-benar serius dan berdampak besar terhadap kepentingan umum atau negara. Sebaliknya, untuk pelanggaran ringan, penjatuhan hukuman berupa kerja sosial atau pengawasan dinilai lebih proporsional. Paradigma ini mencerminkan upaya untuk mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan dan memaksimalkan fungsi rehabilitatif dari sanksi pidana.
Dengan kerangka berpikir seperti ini, revisi KUHAP tak sekadar menjadi pembaruan administratif, melainkan perwujudan nyata dari sistem hukum yang berpihak pada nilai-nilai keadilan. Pemerintah tidak hanya berfokus pada efektivitas penegakan hukum, tetapi juga pada kualitas proses dan hasil akhir yang mencerminkan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Dalam waktu yang tersisa sebelum KUHP baru mulai berlaku, langkah pemerintah untuk menyelesaikan RUU KUHAP menjadi penentu utama dalam reformasi hukum nasional. Dengan dukungan dari para pemangku kepentingan, kalangan akademisi, dan masyarakat sipil, proses legislasi ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan sistem hukum yang berintegritas dan transparan. Ini menjadi momentum emas untuk menegaskan bahwa hukum di Indonesia benar-benar hadir untuk melayani keadilan, bukan sekadar menjatuhkan hukuman.
)* Pengamat Kebijakan Publik