
Oleh: Karmila Fitri )*
Di tengah situasi geopolitik yang kian dinamis dan kebijakan ekonomi global yang tak menentu, Pemerintah Indonesia menunjukkan kesiapannya dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional melalui sejumlah kebijakan strategis. Langkah-langkah ini dirancang secara khusus untuk merespons kebijakan tarif timbal balik dari Amerika Serikat, tanpa terjebak dalam eskalasi konflik perdagangan.
Alih-alih melakukan retaliasi, Pemerintah Indonesia memilih jalur diplomasi ekonomi sebagai pendekatan utama. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa Indonesia akan mengedepankan solusi yang saling menguntungkan melalui negosiasi. Untuk mematangkan strategi bersama, pertemuan tingkat tinggi antarnegara ASEAN akan digelar, di mana Indonesia akan mengambil peran aktif dalam menyamakan sikap dengan Malaysia, Singapura, dan Kamboja. Langkah ini sekaligus memperkuat posisi kawasan Asia Tenggara dalam menghadapi tekanan eksternal yang meningkat.
Paket kebijakan yang tengah disusun mencakup revitalisasi perjanjian Trade and Investment Framework Agreement (TIFA). Pemerintah menilai bahwa perjanjian yang ditandatangani sejak 1996 tersebut memerlukan pembaruan karena banyak ketentuannya sudah tidak relevan dengan dinamika perdagangan masa kini. Revitalisasi ini dipandang krusial agar kerja sama perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Amerika Serikat lebih adaptif terhadap tantangan zaman, serta selaras dengan standar internasional yang terus berkembang.
Selanjutnya, pemerintah akan mengajukan proposal pelonggaran terhadap sejumlah Non-Tariff Measures (NTMs). Salah satu fokusnya adalah relaksasi aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah juga akan mengevaluasi berbagai kebijakan pelarangan dan pembatasan barang ekspor maupun impor, termasuk yang melibatkan Amerika Serikat. Hal ini dilakukan untuk menghindari gesekan yang tidak perlu, sekaligus membuka ruang bagi peningkatan volume perdagangan yang saling menguntungkan.
Sebagai bagian dari langkah antisipatif, pemerintah juga menyiapkan strategi untuk mendorong impor dari Amerika Serikat, khususnya di sektor energi seperti minyak dan gas bumi. Langkah ini tidak hanya menjaga keseimbangan neraca dagang, tetapi juga memperkuat kerja sama bilateral berbasis kebutuhan strategis kedua negara. Dengan pola perdagangan yang lebih seimbang, diharapkan tekanan dari kebijakan tarif bisa diminimalkan melalui pendekatan simbiosis ekonomi.
Guna memperkuat daya saing ekspor, pemerintah akan meluncurkan insentif fiskal dan non-fiskal, termasuk kemungkinan penurunan bea masuk, Pajak Penghasilan (PPh) impor, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor. Kebijakan ini dirancang untuk menjaga stabilitas ekspor Indonesia di tengah kemungkinan lonjakan tarif dari negara mitra utama, tanpa mengorbankan pendapatan negara secara jangka panjang.
Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa pada tahun 2024, Indonesia membukukan surplus perdagangan sebesar USD 14,34 miliar terhadap Amerika Serikat. Surplus terbesar berasal dari komoditas seperti mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian, dan alas kaki. Di sisi lain, Amerika Serikat mencatat defisit sebesar USD 17,9 miliar terhadap Indonesia. Hal ini menjadikan hubungan dagang kedua negara penting untuk terus dijaga melalui pendekatan negosiasi yang konstruktif dan jauh dari pendekatan proteksionis.
Dalam rangka memperkuat posisi tawar Indonesia, Menteri Perdagangan, Budi Santoso, telah melakukan dialog dengan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Kamala Shirin Lakhdhir. Dalam pertemuan tersebut, kedua pihak menyepakati pentingnya menjaga hubungan dagang yang positif agar tidak terdampak isu-isu negatif yang dapat merusak stabilitas kerja sama bilateral. Pemerintah juga menegaskan pentingnya untuk tidak menerapkan kebijakan yang bisa merugikan produk ekspor Indonesia di pasar Amerika, mengingat banyak sektor industri dalam negeri bergantung pada akses pasar luar negeri yang terbuka dan adil.
Pemerintah menyadari bahwa menjaga surplus perdagangan bukan sekadar urusan diplomasi tingkat tinggi, melainkan juga membutuhkan dukungan dari sektor keuangan dan perbankan nasional. Dalam konteks ini, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI mengambil langkah mitigatif dengan memperketat penyaluran kredit berdenominasi valuta asing. Corporate Secretary BNI, Okki Rushartomo, menekankan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga kualitas aset dan ketahanan finansial di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah akibat tekanan kebijakan luar negeri Amerika.
BNI juga menerapkan stress test atas berbagai skenario makroekonomi global untuk memastikan bahwa operasional bank tetap berjalan stabil. Pemberian pinjaman valuta asing kini difokuskan pada debitur yang memiliki sumber pendapatan dalam mata uang asing atau memiliki kemampuan natural hedge. Di sisi lain, posisi likuiditas dolar AS dalam sistem perbankan nasional tetap terjaga, dengan rasio Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang berada di atas ambang batas risiko internal.
Upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional melalui jalur diplomasi dan kebijakan fiskal ini menjadi bukti nyata bahwa negara tidak tinggal diam dalam menghadapi tantangan global. Setiap kebijakan disusun dengan perhitungan cermat dan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan strategis.
Dengan mengedepankan dialog, kerja sama regional, serta sinergi antara pemerintah dan sektor usaha, Indonesia menunjukkan kapasitasnya dalam merespons dinamika global secara bijak dan strategis. Paket kebijakan yang sedang disiapkan bukan hanya menjadi instrumen pertahanan ekonomi, tetapi juga menjadi simbol bahwa Indonesia siap menjadi bagian penting dalam sistem perdagangan global yang adil, terbuka, dan inklusif.
)* Pemerhati Dunia Ekonomi