Diplomasi Progresif: Indonesia Tegaskan Posisi di BRICS Brasil

oleh -13 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Landres Octav Pandega *)

banner 336x280

Keputusan Indonesia menjadi anggota penuh BRICS pada awal 2025 menandai era baru dalam diplomasi luar negeri dan strategi pembangunan nasional. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-17 BRICS yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, pada 6 Juli 2025, bukan semata ajang seremonial, melainkan momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat suara Global South. Presiden Prabowo Subianto memimpin delegasi tingkat tinggi untuk mengartikulasikan kebijakan progresif di depan para pemimpin negara anggota BRICS.

BRICS, blok kerja sama yang sejak 2009 beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, telah berkembang menjadi 11 anggota dengan penambahan Mesir, Etiopia, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Kehadiran Indonesia memperluas potensi pasar, varietas sumber daya, dan diversifikasi mitra strategis di luar jalur tradisional Barat. Dalam sesi pleno pertama bertajuk “Perdamaian dan Keamanan serta Reformasi Tata Kelola Global”, Indonesia mengambil kesempatan emas untuk menyerukan pembaharuan mekanisme PBB yang saat ini kerap terhambat oleh hak veto lima anggota tetap Dewan Keamanan.

Di depan Presiden Prabowo, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva mengatakan BRICS merupakan perwujudan deklarasi Konferensi Asia-Afrika atau Konferensi Bandung. Menurutnya, BRICS adalah manifestasi dari gerakan non-blok Bandung. BRICS menghidupi semangat Bandung. Dalam kesempatan itu, Lula menyoroti situasi global. Menurutnya, situasi global saat ini tengah menghadapi krisis multilateralisme. Lula lalu menegaskan kembali posisi BRICS dalam peta global. Dia menyebut BRICS adalah pewaris gerakan non-blok.

Menurut Kementerian Luar Negeri, dalam debutnya di forum BRICS Presiden Prabowo mengusung gagasan Indonesia sebagai “pembangun jembatan” (bridge builder), namun lebih penting lagi adalah kemampuannya memfasilitasi dialog multipihak demi menciptakan tatanan dunia yang inklusif dan adil. Dalam keterangan resmi, Indonesia menegaskan niat memanfaatkan BRICS sebagai platform memperjuangkan kerja sama global yang lebih setara bagi negara-negara berkembang, sembari tetap memajukan kepentingan nasional dalam bidang ekonomi, keuangan, pendidikan, dan teknologi.

Kesempatan untuk mendorong reformasi tata kelola global semakin konkret ketika sesi pleno beralih pada “Penguatan Multilateralisme, Hubungan Ekonomi-Keuangan, dan Kecerdasan Buatan”. Di sinilah Indonesia dapat menawarkan dua gagasan kunci. Pertama, pengembangan pinjaman infrastruktur melalui New Development Bank (NDB) BRICS—alternatif bagi negara berkembang yang sulit mengakses dana dari lembaga keuangan Barat tanpa syarat politik berat. Kedua, kolaborasi riset AI untuk mendukung digitalisasi sektor publik, pendidikan jarak jauh, dan revolusi industri 4.0. Jika berhasil, kedua inisiatif ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan domestik, tetapi juga memperkuat posisi tawar Indonesia di forum multilateral.

Lebih jauh, bergabungnya Indonesia dengan BRICS memungkinkan diversifikasi mitra dagang yang sangat berguna dalam era ketidakpastian geopolitik. Ketergantungan berlebih pada Amerika Serikat dan Uni Eropa berpotensi membuat ekonomi rentan terhadap sanksi atau perlambatan ekonomi global. Dengan memperdalam perdagangan pertanian dan komoditas dengan Brasil, teknologi informasi dengan India, serta energi dan industri pertambangan dengan Rusia dan Afrika Selatan, Indonesia memperluas pangsa pasar dan mereduksi risiko eksternal. Di saat yang sama, sentralitas geopolitik Indonesia—sebagai negara terpadat keempat dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara—memberi nilai tambah bagi anggota BRICS yang ingin menembus pasar ASEAN.

Dari sudut filsafat politik, peran aktif di BRICS mencerminkan konsep negara berdaulat yang tidak hanya mengikuti arus dominasi besar, melainkan turut menggerakkan perubahan tatanan dunia. Diskursus Dewan Keamanan PBB yang terhambat veto permanen melukai prinsip demokratik internasional; oleh karenanya, suara Indonesia sebagai salah satu negara G20 dan anggota penuh BRICS diharapkan mendorong mekanisme pengambilan keputusan yang lebih inklusif. Sebagaimana diungkapkan Ahmad Khoirul Umam, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, KTT ini adalah momentum strategis untuk menegaskan multilateralisme egaliter yang tidak bersandar pada unilateralisme satu-dua kekuatan besar.

Selain agenda tata kelola global, Indonesia dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memperluas kerjasama keamanan maritim. Keberhasilan memerangi penyelundupan narkoba dan kejahatan lintas negara di wilayah perairan nasional memerlukan koordinasi dengan negara-negara sahabat di jalur Samudra Hindia hingga Selat Malaka. BRICS dapat menjembatani pembentukan pusat intelijen maritim bersama, latihan gabungan untuk keamanan laut, serta pembaruan standar penegakan hukum di perbatasan laut. Ini akan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara kepulauan yang bertanggung jawab menjaga keamanan jalur pelayaran internasional.

Diplomasi progresif adalah tugas berkelanjutan, bukan pencapaian sekali jadi. Indonesia memastikan kontribusi nyata di lembaga BRICS—baik dalam pendanaan NDB, pengiriman tenaga ahli untuk riset AI, maupun inisiatif pelatihan teknis bagi anggota lain. Pelibatan sektor swasta dan akademisi Indonesia dalam proyek multinasional BRICS memperkaya basis pengetahuan dan memperkuat kemampuan inovatif. Implementasi kebijakan dalam negeri yang konsisten menumbuhkan kepercayaan mitra BRICS bahwa Indonesia serius memperjuangkan prinsip inklusivitas.

*) Pengamat Hubungan Internasional

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.