Jakarta – Pemerintah terus memperkuat sistem perlindungan sosial nasional melalui integrasi antara Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Inisiatif ini menjadi respons terhadap tantangan ketepatan sasaran bantuan sosial sekaligus sebagai jawaban atas dinamika ketenagakerjaan nasional. Melalui pemutakhiran data berbasis elektronik dan mekanisme perlindungan adaptif, sinergi DTSEN dan JKP diharapkan mampu menghadirkan kebijakan sosial yang tidak hanya reaktif, tetapi juga transformatif.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menegaskan bahwa penggunaan DTSEN telah membawa pembaruan signifikan dalam proses verifikasi penerima bansos. Ia mengungkapkan bahwa sekitar 45 persen penerima sebelumnya tidak sesuai target, sehingga pemerintah kini memperkuat validasi berbasis data yang diperbarui setiap tiga bulan.
”Bantuan sosial bukan hanya untuk mereka yang masuk dalam kategori miskin tetap, tetapi juga bagi masyarakat yang mengalami gejolak ekonomi, seperti pemutusan hubungan kerja. Selama individu tersebut tercatat dalam DTSEN dan masuk dalam desil sosial ekonomi yang sesuai, maka bansos tetap diberikan,” ucap pria yang akrab disapa Gus Ipul tersebut.
Senada dengan itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menjelaskan bahwa JKP menjadi instrumen penting dalam menghadapi lonjakan PHK yang belakangan terjadi. Sebab, dengan adanya JKP para pekerja tak hanya bisa mendapatkan bantuan secara langsung, namun juga mendapatkan bekal untuk mengembakan diri di pekerjaan selanjutnya.
”JKP tidak hanya memberikan manfaat tunai bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga menyertakan pelatihan keterampilan dan akses informasi pasar kerja,” ucapnya.
Yassierli menambahkan bahwa saat ini pemerintah tengah membentuk Satgas PHK untuk mempercepat respons terhadap gejolak ketenagakerjaan, di mana sebagian tugasnya saat ini sudah dijalankan oleh Kemnaker.
”Keberadaan DTSEN sangat penting untuk memastikan setiap program ketenagakerjaan menyasar kelompok yang benar-benar terdampak,” lanjutnya.
Kebijakan berbasis data ini menghasilkan sejumlah capaian konkret. Salah satunya adalah pencoretan lebih dari tujuh juta penerima bansos yang tidak lagi memenuhi syarat. Proses verifikasi dilakukan melalui kerja sama lintas lembaga, seperti Kementerian Sosial, BPS, BPKP, hingga PPATK.
Langkah ini dipandang efektif dalam memperkecil risiko kebocoran anggaran dan mengefisienkan distribusi bantuan. Pemerintah memastikan bahwa bansos hanya diberikan kepada kelompok rentan dan masyarakat miskin yang terverifikasi dan aktif dalam sistem.
Langkah sinergis ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk membangun sistem jaminan sosial yang tidak sekadar menjadi pereda krisis sesaat, tetapi juga fondasi untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dalam situasi apa pun, negara hadir dengan data, dengan sistem, dan dengan ketegasan. Pemerintah mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk terus mendukung ekosistem perlindungan sosial yang terintegrasi, adaptif, dan berpihak pada rakyat.
[edRW]