Mengutuk Kekejaman OPM dan Mengedepankan Perdamaian Papua

oleh -6 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Dominggus Alam *)

Konflik berkepanjangan di Papua yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat sipil. Kekerasan yang mereka lakukan, seperti penembakan, penyanderaan, dan ancaman terbuka terhadap aparat keamanan serta warga tak berdosa, bukan hanya melanggar prinsip kemanusiaan, tetapi juga menghambat upaya membangun perdamaian dan kesejahteraan di tanah Papua. Salah satu insiden terbaru adalah penembakan terhadap mantan Kapolsek Mulia di Puncak Jaya, sebuah aksi yang kembali menegaskan betapa kejamnya metode yang digunakan oleh OPM. Kekejaman semacam ini bukanlah cerminan aspirasi rakyat Papua yang sesungguhnya, melainkan tindakan segelintir pihak yang justru memperburuk kehidupan masyarakat yang mereka klaim perjuangkan.

banner 336x280

TPNPB-OPM kerap membungkus aksinya dalam narasi perjuangan kemerdekaan, namun realitas di lapangan jauh dari mulia. Korban utama dari kekerasan ini adalah rakyat Papua sendiri—guru yang mengajar anak-anak di pedalaman, tenaga medis yang berjuang menyelamatkan nyawa, hingga warga biasa yang hanya ingin menjalani hari dengan aman. Penembakan terhadap eks Kapolsek Mulia, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media, adalah bukti nyata bahwa target mereka tidak terbatas pada aparat keamanan, tetapi juga siapa saja yang dianggap menghalangi agenda mereka. Tindakan ini bukan sekadar kejahatan terhadap individu, melainkan serangan terhadap stabilitas dan harapan masyarakat luas untuk hidup damai. Pernyataan terbaru Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom yang menyebutkan kesiapan untuk “berperang melawan tentara Indonesia hingga dunia kiamat” semakin memperkeruh situasi.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI, Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi menyebut tantangan perang TPNPB-OPM hanyalah propaganda semata yang ditujukan untuk menakut-nakuti masyarakat sipil. Menurut Brigjen Kristomei, sikap militan ini bukanlah strategi perjuangan yang konstruktif, melainkan upaya untuk menciptakan ketakutan dan kekacauan di tengah rakyat Papua. Narasi perang yang mereka gaungkan tidak hanya menunjukkan sikap penolakan terhadap dialog, tetapi juga ketidakpedulian terhadap dampak nyata yang dirasakan oleh warga setempat.

Kita harus tegas menyatakan bahwa kekerasan bukan solusi. Aspirasi politik atau sosial, betapapun sahihnya, dapat disuarakan melalui saluran damai dan demokratis—bukan dengan senjata yang hanya melahirkan penderitaan. Meskipun sering dikritik atas pendekatan keamanannya di Papua, pemerintah telah menunjukkan komitmen untuk memperbaiki kondisi di wilayah Papua melalui kebijakan otonomi khusus, pembangunan infrastruktur seperti jalan Trans Papua, serta peningkatan akses pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, kelompok seperti OPM justru kerap menargetkan proyek-proyek tersebut. Insiden penyerangan terhadap pekerja proyek Trans Papua di masa lalu adalah bukti kontradiksi antara retorika “pembebasan” yang mereka usung dan realitas kehancuran yang mereka tinggalkan.

Masyarakat Papua berhak hidup dalam damai, bebas dari ancaman dan ketakutan. Kekejaman OPM tidak boleh dibiarkan menjadi narasi dominan yang membayangi kehidupan sehari-hari. Dunia internasional, termasuk organisasi hak asasi manusia, perlu mengambil sikap tegas dengan mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata ini. Selama ini, sorotan sering kali hanya tertuju pada respons pemerintah atau aparat keamanan, sementara pelanggaran yang dilakukan oleh OPM cenderung luput dari perhatian media. Padahal, perdamaian sejati di Papua hanya dapat tercapai jika OPM bersedia meletakkan senjata dan memilih jalan dialog serta rekonsiliasi.

Propaganda intimidasi yang disebarkan OPM, sebagaimana disebutkan oleh pihak TNI, juga menunjukkan bahwa tujuan mereka bukan semata-mata kemerdekaan, melainkan mempertahankan kekuasaan dan pengaruh melalui ketakutan. Ini terlihat dari pola serangan mereka yang sering kali tidak memiliki target strategis yang jelas, tetapi lebih bertujuan untuk menciptakan teror. Dalam konteks ini, masyarakat sipil menjadi pihak yang paling dirugikan. Anak-anak kehilangan akses pendidikan karena sekolah ditutup akibat konflik, keluarga tercerabut dari kampung halaman mereka, dan perekonomian lokal terhenti karena ketidakstabilan. Jika OPM benar-benar peduli pada rakyat Papua, mengapa justru rakyat yang mereka jadikan korban.

Sebagai satu bangsa, kita perlu memperkuat solidaritas dengan rakyat Papua. Memastikan keadilan sosial terwujud dan membangun kepercayaan adalah langkah penting untuk meredam konflik. Pemerintah terus mendorong pendekatan yang lebih inklusif, melibatkan tokoh masyarakat adat, agama, dan pemuda Papua dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini sebagai bentuk demokrasi dan pengakuan atas eksistensi masyrakat Papua dalam bingkai NKRI. Namun, lagi-lagi OPM selalu menciptakan teror dengan alibinya menjaga Papua. Padahal OPM sendiri yang menjadi problematik dalam perwujudan Papua damai.

Kekejaman OPM harus dilawan dengan narasi kemanusiaan yang lebih kuat, bahwa setiap nyawa berharga, dan tidak ada ideologi yang dapat membenarkan pengorbanan rakyat tidak bersalah. Mari kita bangun Papua yang damai, bukan dengan darah dan peluru, tetapi dengan tangan terbuka, hati yang penuh harapan, dan komitmen untuk masa depan yang lebih baik. Kekerasan hanya akan melahirkan luka baru, sementara perdamaian menawarkan jalan keluar bagi semua pihak.

*) Pemuda Papua Peduli Perdamaian – Asosiasi Anak Papua Barat

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.