Mengapresiasi Langkah Cepat Aparat Keamanan Tindak Tegas Pelaku Intoleransi di Sumbar

oleh -2 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Laras Indah Sari )*

banner 336x280

Respons yang cepat dari aparat keamanan dalam menindak dengan sangat tegas para pelaku intoleransi di Padang patut mendapat apresiasi penuh. Pada hari Minggu, tanggal 27 Juli 2025, sebuah rumah doa yang juga menjadi tempat pendidikan bagi anak-anak Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, diserang oleh sekelompok orang.

Sejumlah massa melakukan perusakan properti dan juga membubarkan secara paksa kegiatan ibadah yang sedang berlangsung di sana, bahkan aksi ini terjadi di hadapan anak-anak. Kekerasan semacam itu jelas sekali merupakan bentuk pelanggaran yang sangat serius terhadap hak beribadah dan kebebasan beragama bagi masyarakat.

Menanggapi adanya intoleransi itu, Kepolisian Daerah Sumatera Barat bergerak dengan sangat cepat dalam menanggapi laporan masyarakat. Dalam waktu singkat, sejumlah individu yang diduga terlibat dalam aksi perusakan berhasil diamankan oleh Polresta Padang.

Tidak berhenti di tingkat operasional, Wakapolda Sumatera Barat, Brigjen Pol. Solihin, langsung turun ke lokasi kejadian. Kehadiran pejabat tinggi kepolisian ini menjadi sinyal kuat bahwa institusi kepolisian tidak akan mentolerir tindakan intoleransi dalam bentuk apapun.

Pernyataan tegas dari Brigjen Pol. Solihin menegaskan komitmen aparat untuk memproses hukum pelaku intoleransi sesuai ketentuan yang berlaku. Kepolisian juga memastikan proses hukum berjalan profesional dan transparan.

Upaya tersebut ditujukan untuk menjaga ketertiban serta mencegah eskalasi sosial akibat provokasi atau informasi menyesatkan. Penanganan seperti itu mencerminkan bentuk perlindungan nyata terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

Tanggapan dari aparat penegak hukum memberikan harapan bagi kelompok minoritas yang selama ini rentan menjadi korban intoleransi. Komitmen institusional untuk menegakkan hukum secara adil menjadi bukti bahwa negara hadir ketika prinsip-prinsip konstitusional terancam. Tindakan ini tidak hanya memulihkan ketertiban, tetapi juga menjadi langkah penting dalam menumbuhkan rasa aman bagi warga yang selama ini merasa terpinggirkan oleh aksi intoleran.

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menilai peristiwa kekerasan terhadap jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) tersebut merupakan bentuk intoleransi yang mengakar. Ketua Umum PGI, Pendeta Jacky Manuputty, menekankan bahwa tindakan kekerasan di depan anak-anak akan meninggalkan dampak psikologis jangka panjang. Ia menyebut intoleransi yang terus terjadi di berbagai wilayah memperlihatkan adanya pola diskriminasi yang terstruktur dan tidak bisa dianggap sepele.

PGI menyampaikan penghargaan atas langkah cepat aparat keamanan yang segera menanggulangi insiden dan mengamankan pelaku. Jacky menyebutkan bahwa keberadaan negara untuk menjamin hak konstitusional setiap warga negara, termasuk menjalankan ibadah sesuai keyakinannya yang merupakan mandat yang tidak bisa ditawar. Menurut PGI, negara tidak boleh menormalisasi kekerasan atas nama keyakinan mayoritas, karena Indonesia berdiri di atas dasar keberagaman yang dijaga oleh konstitusi.

Ia juga mengapresiasi upaya Pemerintah Kota Padang yang memfasilitasi dialog antar pihak dan turut memberikan perhatian pada dampak psikologis terhadap anak-anak yang menjadi saksi peristiwa kekerasan tersebut. PGI mendukung penuh proses hukum terhadap para pelaku intoleransi. Langkah tegas itu dianggap penting agar masyarakat menyadari bahwa tindakan intoleran bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga ancaman terhadap nilai-nilai kebangsaan, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan hak asasi manusia.

Sementara itu, SETARA Institute juga mengecam keras tindakan persekusi terhadap jemaat GKSI. Ketua Dewan Nasional SETARA, Hendardi, menyatakan kejadian tersebut bukan sekadar konflik horizontal biasa, melainkan pelanggaran berat terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ia menilai bahwa tindakan massa yang menyerbu rumah doa bukan hanya intoleran, tetapi merupakan tindak pidana yang melanggar hukum positif Indonesia.

SETARA menegaskan pentingnya proses hukum terhadap pelaku sebagai upaya menciptakan efek jera. Hendardi mendorong aparat tidak menyederhanakan peristiwa tersebut sebagai insiden akibat salah paham, sebab akar masalahnya jauh lebih kompleks.

Mulai dari konservatisme keagamaan, rendahnya literasi toleransi, hingga kebijakan lokal yang diskriminatif turut memperparah atmosfer intoleransi di masyarakat. Oleh karena itu, tindakan cepat aparat penegak hukum dalam merespons kasus di Padang harus menjadi standar penanganan semua kasus intoleransi di Indonesia.

Kehadiran pimpinan tinggi kepolisian di lokasi kejadian menandakan bahwa negara tidak akan tinggal diam ketika ada kelompok yang mencoba merusak kerukunan umat beragama. Komitmen untuk menjalankan hukum secara profesional dan adil telah terlihat dari langkah awal aparat yang langsung menangkap pelaku dan melakukan pendalaman atas insiden tersebut.

Penegakan hukum terhadap kasus intoleransi tidak hanya berdampak secara hukum, tetapi juga menjadi pesan moral yang kuat bahwa supremasi hukum masih berdiri tegak. Tindakan represif yang merusak keharmonisan sosial tidak bisa diberi ruang sedikit pun dalam kehidupan berbangsa. Masyarakat berhak beribadah dalam damai tanpa ketakutan terhadap intimidasi atau kekerasan dari kelompok manapun.

Upaya yang dilakukan oleh aparat keamanan Sumatera Barat dalam menangani insiden perusakan rumah ibadah di Padang menunjukkan bahwa ketika negara hadir secara konkret, rasa keadilan dan ketertiban bisa ditegakkan.

Kepolisian telah menjalankan tugas konstitusional dengan penuh tanggung jawab dan komitmen terhadap keberagaman. Langkah ini layak diapresiasi tinggi, sekaligus menjadi preseden bahwa intoleransi tidak boleh mendapat tempat di bumi Indonesia.  

)* Konsultan Hak Asasi Manusia – Forum HAM Papua Madani

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.