Menolak Keras 1 Juli HUT OPM, Masyarakat Ingin Jaga Persatuan NKRI

oleh -0 Dilihat
banner 468x60

Oleh: Theresia Mote*

banner 336x280

Setiap bangsa memiliki momen penting yang menjadi tonggak sejarah perjuangan, tetapi tidak semua tanggal layak dirayakan sebagai hari peringatan. Klaim 1 Juli sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan hanya tidak mencerminkan semangat kemajuan dan kemanusiaan, penetapan tanggal ini justru menjadi simbol glorifikasi kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur masyarakat Papua sendiri. Inilah yang ditegaskan oleh sejumlah tokoh adat dan pemimpin daerah di Tanah Papua bahwa Papua memilih damai, bukan konflik, memilih persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan pemecahbelahan.

Yanto Eluay, tokoh adat sentral Papua, menyuarakan dengan lantang penolakan terhadap peringatan 1 Juli sebagai hari berdirinya OPM. Bagi masyarakat adat Papua, tanggal tersebut tidak punya akar budaya maupun legitimasi moral dalam tatanan kehidupan yang menjunjung tinggi perdamaian, persaudaraan, dan kesejahteraan. Penolakan ini bukan sekadar retorika, melainkan seruan nurani yang tumbuh dari keinginan mendalam untuk membangun Tanah Papua secara bermartabat, jauh dari senjata dan konflik yang hanya menyisakan luka sosial antargenerasi.

Dalam pandangan Yanto Eluay, masyarakat Papua memiliki tujuan hidup yang jelas—ingin hidup tenteram, mendidik anak cucu dalam damai, membangun ekonomi lokal, memperkuat akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta menjaga lingkungan dan budaya lokal. Semua itu tak mungkin tercapai jika kekerasan terus menjadi wajah yang diperlihatkan kepada dunia. Justru, separatisme bersenjata yang selama ini diusung oleh kelompok OPM menjadi penghambat utama kemajuan Papua. Maka, menurutnya, menolak peringatan 1 Juli bukan hanya tindakan politik, tetapi juga wujud tanggung jawab moral terhadap masa depan Papua.

Senada dengan itu, suara dari Papua Barat juga menguatkan narasi damai tersebut. Korneles Yenu, Ketua Gerakan Merah Putih Irian Jaya, mengajak masyarakat Manokwari agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu separatis yang sengaja dimainkan menjelang 1 Juli. Ia menekankan pentingnya ketenangan sosial dan stabilitas sebagai fondasi untuk kemajuan bersama. Dalam konteks ini, menjaga keamanan bukan hanya tugas aparat, melainkan kewajiban moral seluruh elemen masyarakat yang cinta tanah kelahirannya dan tidak ingin menyeret generasi muda ke dalam konflik yang tak berujung.

Tokoh adat Manokwari, Lewi Mandacan, bahkan memperingatkan secara tegas bahwa NKRI telah memberi ruang dan perhatian besar terhadap Papua melalui berbagai program pembangunan dan pemberdayaan. Dalam pernyataannya, ia mendorong agar masyarakat tidak larut dalam retorika konflik yang hanya merusak sendi-sendi kebersamaan. Ia mengajak masyarakat Papua untuk menjadi bagian dari solusi dan turut serta menjaga keutuhan bangsa yang majemuk ini.

Dari sisi pemerintahan, Gubernur Papua Pegunungan, John Tabo, mengingatkan bahwa kedamaian adalah syarat utama percepatan pembangunan, terutama di wilayah Daerah Otonomi Baru (DOB) seperti Papua Pegunungan. Ia mengajak warga di delapan kabupaten di bawah kepemimpinannya untuk menjaga stabilitas sosial dan tidak menciptakan kegaduhan yang bisa menghambat pembangunan ekonomi, pendidikan, maupun layanan kesehatan. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin daerah, ia mengemban tanggung jawab untuk melindungi dan mengayomi seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakang, dan menyerukan agar seluruh lapisan bersatu membangun Papua yang damai, adil, dan sejahtera.

Narasi damai yang dibangun oleh para tokoh adat dan pemimpin daerah ini harus menjadi perhatian serius bagi seluruh bangsa Indonesia. Upaya separatisme yang ingin memecah belah Indonesia tidak hanya mengancam integritas wilayah, tetapi juga menciderai harapan warga Papua yang mendambakan hidup yang lebih baik. Glorifikasi terhadap kekerasan dan perjuangan bersenjata bukanlah jalan keluar dari masalah—justru memperpanjang derita dan menutup ruang-ruang dialog serta pembangunan.

Papua bukan tanah konflik. Papua adalah rumah besar yang dihuni oleh masyarakat adat yang menjunjung tinggi harmoni dan cinta tanah air. Segala bentuk peringatan yang bertujuan memecah belah bangsa, seperti 1 Juli yang diklaim sebagai hari berdirinya OPM, sejatinya adalah ancaman terhadap cita-cita luhur masyarakat Papua sendiri. Di tengah arus informasi yang semakin cepat, masyarakat dituntut untuk bijak menyaring informasi dan tidak mudah percaya pada provokasi yang merugikan kepentingan bersama.

Generasi muda Papua perlu diarahkan untuk menjadi agen perubahan yang positif, bukan korban narasi kekerasan. Mereka harus diberi akses pendidikan yang berkualitas, kesempatan ekonomi yang luas, serta ruang partisipasi politik yang sehat dalam sistem demokrasi Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah harus terus memperkuat pendekatan yang inklusif, merangkul semua pihak untuk mempercepat pembangunan Papua tanpa diskriminasi.

Menolak peringatan 1 Juli sebagai HUT OPM adalah langkah penting dalam memutus mata rantai glorifikasi kekerasan. Ini bukan sekadar penolakan terhadap simbol, melainkan pernyataan tegas bahwa masa depan Papua terletak pada semangat kebersamaan dalam NKRI. Tanah Papua telah, sedang, dan akan terus menjadi bagian integral dari Indonesia, dengan segala keberagaman dan kekayaannya. Kini saatnya seluruh komponen bangsa bersatu menjaga perdamaian, demi Papua yang damai, maju, dan sejahtera.

*Penulis merupakan Jurnalis dan aktivis literasi dari Papua

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.