RUU Perampasan Aset Langkah Penting Dalam Penelusuran Aset Tindak Kejahatan

oleh -9 Dilihat

Jakarta – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menegaskan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset untuk memperkuat upaya negara dalam menelusuri dan menyita harta hasil tindak kejahatan.

“RUU ini penting karena kita selama ini memiliki keterbatasan dalam pengaturan soal perampasan harta kekayaan hasil kejahatan,” ujar Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan PPATK, Fithriadi Muslim.

Selama ini PPATK kerap berhasil mengidentifikasi aset yang diduga berasal dari tindak pidana. Namun, lemahnya keterkaitan antara aset dan pelaku dalam proses pembuktian kerap menghambat upaya perampasan.

“Sering kali asetnya ditemukan, tapi keterkaitan dengan pelaku atau tindak pidananya lemah, sehingga sulit dirampas,” ungkapnya.

Menurutnya, sistem hukum Indonesia saat ini masih menganut prinsip conviction-based asset forfeiture, yakni perampasan aset hanya dapat dilakukan jika pelakunya telah dijatuhi vonis bersalah. Padahal, dalam sejumlah kasus, pelaku kejahatan tidak bisa dihadirkan di pengadilan, seperti melarikan diri atau meninggal dunia.

Karena itu, Fithriadi mendorong penerapan pendekatan non-conviction based asset forfeiture (NCB), atau perampasan aset tanpa harus ada putusan pidana terhadap pelaku.

“Bukan berarti perampasan sepihak, semua tetap harus melalui pengadilan terbuka,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi (UNCAC) melalui UU No. 7 Tahun 2006, yang mendorong negara-negara untuk mengadopsi langkah-langkah legislatif semacam ini.

Pendekatan NCB juga dinilai penting dalam menghadapi berbagai modus penyamaran aset oleh pelaku kejahatan, seperti penggunaan identitas palsu atau pihak ketiga.

“Yang kita hadapi bukan hanya orangnya, tapi struktur asetnya. Dan pendekatan NCB memungkinkan negara melawan aset, bukan orangnya,” jelasnya.

RUU ini juga merujuk pada prinsip dari Stolen Asset Recovery Initiative (StAR Initiative) yang dikembangkan oleh Bank Dunia. Salah satu prinsip utamanya adalah cakupan luas terhadap aset yang dapat dirampas, yakni proceeds of crime dan instrument of crime. Artinya, aset yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dialihkan kepada pihak lain, tetap bisa dikenakan perampasan.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Muhammad Sarmuji, menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset akan dibahas setelah penyusunan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) rampung. Hal ini dilakukan demi sinkronisasi antar regulasi.

“Nanti kalau nggak sinkron bisa repot lagi, akan ada revisi lagi, dan itu lebih menyulitkan dibandingkan dilakukan setelah RUU KUHAP bisa dirampungkan,” tutur Sarmuji.