PSU Jadi Bukti Pemerintah Tak Toleransi Kecurangan Pilkada

oleh -9 Dilihat

Oleh: Lily Rahmadania )*

Pemerintah menegaskan bahwa pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 bukan sekadar pengulangan proses, melainkan bentuk koreksi atas penyimpangan yang telah terjadi. Langkah ini mencerminkan kesungguhan dalam menjaga kualitas demokrasi dan mendorong terciptanya pilkada yang berintegritas.

Pemungutan suara ulang merupakan tanggapan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan agar beberapa daerah menyelenggarakan pilkada kembali. Keputusan ini menunjukkan bahwa sistem pemilu di Indonesia memiliki mekanisme koreksi yang dapat menjamin keadilan pemilih dan legalitas hasil pemilu.

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa PSU adalah bentuk tanggung jawab negara dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Ia menilai bahwa pemulihan integritas pemilu tidak cukup dilakukan secara administratif, tetapi harus mencakup kesiapan teknis, logistik, dan pengawasan yang memadai.

Menurutnya, pengawasan perlu dilakukan sejak awal tahapan hingga hari pemungutan suara agar tidak terjadi kembali pelanggaran yang menjadi penyebab PSU sebelumnya. Ia juga menekankan pentingnya mencegah terjadinya PSU susulan yang justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan membebani anggaran negara.

Dalam pandangan Komisi II DPR RI, keberadaan PSU tidak hanya menyangkut proses pemilu itu sendiri, tetapi juga menyentuh aspek kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Oleh karena itu, anggaran yang dialokasikan melalui APBN harus digunakan secara bijak tanpa mengurangi kualitas penyelenggaraan.

Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri juga mendorong agar PSU dilaksanakan dengan menjunjung nilai kejujuran dan transparansi. Wakil Menteri Dalam Negeri, Ribka Haluk, menggarisbawahi pentingnya semua pihak untuk bersikap bijak dalam menyikapi hasil PSU agar proses pemerintahan tidak terhambat oleh sengketa berkepanjangan.

Ia juga mengingatkan agar pemerintah daerah melakukan mitigasi terhadap tantangan teknis, seperti cuaca ekstrem yang dapat mengganggu distribusi logistik. Koordinasi dengan BMKG dan BPBD dipandang penting dalam mendukung kelancaran pelaksanaan di lapangan.

Langkah-langkah antisipatif tersebut menjadi bagian dari upaya menyeluruh pemerintah agar pelaksanaan PSU benar-benar mencerminkan nilai demokrasi yang sehat. Bukan hanya sekadar memenuhi perintah hukum, melainkan sebagai bentuk perbaikan sistem secara substansial.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung langkah pemerintah menyukseskan PSU. Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, menyebut bahwa lembaganya telah mengupayakan efisiensi anggaran tanpa mengabaikan kelengkapan tahapan pemilu.

Efisiensi tersebut dilakukan melalui penghitungan kebutuhan logistik yang tepat sasaran serta koordinasi lintas lembaga untuk menekan biaya operasional. KPU juga memprioritaskan pelatihan dan pembekalan teknis bagi penyelenggara di lapangan guna menghindari kesalahan prosedural.

Afifuddin menyampaikan bahwa KPU akan terus menjalin komunikasi aktif dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah, aparat keamanan, dan pengawas pemilu. Tujuannya adalah menjaga kelancaran seluruh tahapan hingga pemungutan dan penghitungan suara.

Dukungan legislatif, eksekutif, dan penyelenggara pemilu terhadap pelaksanaan PSU menunjukkan keseriusan negara dalam menjaga keabsahan proses pemilu. Koordinasi yang terbangun di antara mereka menjadi kekuatan utama dalam mendorong pelaksanaan PSU yang bebas dari celah hukum.

Di sisi lain, pengalaman PSU sebelumnya memberikan pelajaran penting bagi semua pihak. Beberapa daerah yang telah menggelar PSU bahkan menghadapi situasi di mana hasil PSU justru kembali disengketakan. Situasi ini menuntut ketegasan penyelenggara dalam memastikan tidak ada ruang bagi pelanggaran terulang.

Komisi II DPR menyoroti perlunya penyelenggara untuk lebih memperhatikan alasan-alasan MK saat memerintahkan PSU. Hal tersebut bisa menjadi acuan dalam memperbaiki penyelenggaraan dan mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa mendatang.

Ke depan, pemerintah juga didorong untuk lebih responsif dalam menangani tantangan-tantangan teknis dan hukum yang muncul selama pelaksanaan PSU. Termasuk memastikan bahwa aparatur sipil negara tetap netral dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang yang berpotensi mencederai hasil pemilu.

Dengan jumlah PSU yang tidak sedikit, pemerintah memerlukan langkah strategis untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, setiap tahapan harus dijalankan secara profesional, akuntabel, dan menjangkau seluruh pemilih tanpa diskriminasi.

Pelaksanaan PSU bukan sekadar untuk memenuhi prosedur hukum, melainkan menjadi momen penting untuk membenahi sistem pemilu secara menyeluruh. Keberhasilan pelaksanaan PSU akan sangat menentukan sejauh mana negara mampu memperkuat pondasi demokrasi yang adil dan partisipatif.

PSU juga menjadi indikator sejauh mana pemerintah dan penyelenggara mampu mendengarkan aspirasi publik, serta menjawab ketidakpuasan yang sempat muncul akibat proses yang dianggap cacat. Dalam konteks ini, PSU menjadi simbol komitmen negara untuk melayani kehendak rakyat secara jujur.

Langkah korektif yang diambil pemerintah melalui PSU perlu dipahami sebagai bagian dari proses menuju demokrasi yang lebih matang. Ia tidak hanya menyelesaikan permasalahan administratif, tetapi juga menegaskan bahwa kesalahan dalam proses demokrasi dapat dan harus diperbaiki.

Dengan dukungan semua pihak, PSU dapat menjadi refleksi dari demokrasi yang tidak hanya prosedural tetapi juga substansial. Upaya perbaikan ini harus dijalankan secara konsisten agar kepercayaan publik tidak sekadar dipulihkan, tetapi diperkuat untuk jangka panjang.

Jika konsistensi ini terjaga, maka PSU tidak akan lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai bagian penting dari proses demokratis yang terus berkembang. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu telah memberi contoh bahwa koreksi adalah bagian sah dari tata kelola demokrasi yang bertanggung jawab.

)* Kontributor Lingkar Khatulistiwa Institute